Penemuan fosil Homo soloensis menjadi salah satu bukti eksistensi kehidupan manusia purba di wilayah Indonesia pada zaman prasejarah.
Fosil-fosil ini diyakini berasal dari zaman Batu Tua atau Paleolitikum. Hominid ini dianggap sebagai subspesies dari homo erectus, yaitu salah satu jenis manusia purba yang dapat berdiri tegak.
Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa subspesiesini memiliki kesamaan dengan Homo Neanderthalensis, yang juga merupakan manusia purba yang ditemukan di wilayah Asia, Afrika, dan Eropa.
Sejarah Penemuan Homo Soloensis
Jenis manusia purba satu ini dianggap paling maju dibandingkan dengan spesies lainnya. Penemuan ini merupakan hasil kerja sama beberapa pakar purbakala asal Belanda, yaitu Oppenoorth, Ter Haar, dan G.H.R. Von Koenigswald.
Penasaran dengan bagaimana subspesiesdari homo erectus ini ditemukan? Berikut kami berikan pemaparannya secara lengkap.
1. Penemuan dan Lokasi Fosil
Pada tahun 1931, Von Koenigswald, dkk memulai riset di wilayah Desa Ngandong, Sangiran, Jawa Tengah, yang terletak dekat Sungai Bengawan Solo.
Diketahui, bahwa jejak manusia purba banyak yang ditemukan di sekitar sungai. Penemuan-penemuan fosil di wilayah tersebut menandakan keberadaan kehidupan manusia purba.
Penelitian dimulai dengan menemukan fosil-fosil hewan vertebrata, dan setelah dilakukan penggalian lebih lanjut, mereka menemukan dua tulang bagian atas kepala manusia purba.
Tidak berhenti di situ, pada tahun 1933, penelitiannya semakin membuahkan hasil. Mereka berhasil menemukan sejumlah fosil yang terdiri dari 1 pecahan parietal, 5 tulang infra-tengkorak, dan 11 kerangka berwujud tengkorak.
Fosil-fosil tersebut akhirnya diberi nama Homo Soloensis, atau yang sering disebut juga sebagai homo erectus soloensis, hominid Solo, atau Solo Man.
2. Teori Von Koenigswald
Menurut Von Koenigswald, fosil subspesiesyang berasal dari Solo ini berada pada tingkatan yang lebih tinggi daripada spesies Pithecanthropus erectus.
Oleh karena itu, subspesiesini disebut Homo, yang berarti manusia. Para ahli berpendapat bahwa makhluk hidup ini telah mengalami perkembangan akal yang lebih maju dibandingkan spesies sebelumnya.
Pendapat ini juga mendapat dukungan dari R. Weidenreich. Kedua ilmuwan ini sepakat bahwa subspesiesasal Solo ini merupakan manusia purba hasil evolusi dari Pithecanthropus mojokertensis atau dikenal sebagai Homo mojokertensis.
Pernyataan ini didasarkan pada struktur tubuh fosil yang diperkirakan sudah mengalami peningkatan dan perbaikan.
3. Masa Hidup Homo Soloensis
Diperkirakan, hominid asal Solo ini telah hidup sekitar 900 hingga 300 ribu tahun silam, berdasarkan karakteristik fosil yang ditemukan. Meskipun demikian, usia kerangka yang diteliti berada dalam kisaran 143.000 hingga 550.000 tahun.
Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan kemungkinan usia yang lebih akurat, mengingat kondisi fosil saat ditemukan tidak dalam keadaan sempurna.
Para ahli juga menyatakan bahwa subspesiesdari homo erectus ini telah mengalami perkembangan kecerdasan. Hal ini didasarkan pada volume otak yang diperkirakan berkisar antara 1000-1200 cc.
Kemampuan berkembangnya otak ini memberikan gambaran tentang evolusi manusia purba ini dan peran pentingnya dalam perjalanan evolusi manusia menuju peradaban yang lebih maju.
Ciri-Ciri Homo Soloensis
Dalam mengidentifikasi ciri-ciri manusia purba, terdapat beberapa penemuan fosil yang digunakan sebagai acuan dan rujukan dalam membuat pengelompokkan karakteristiknya.
Diketahui, karakteristik tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ciri fisik dan non-fisik, yakni berkaitan dengan kebudayaan dan kepercayaan.
1. Ciri-Ciri Secara Fisik
Secara umum, karakteristik dari hominid Solo menunjukkan beberapa kemiripan dengan Homo erectus. Namun, subspesies homo sapiens ini, dapat dikatakan lebih maju atau sempurna daripada Homo erectus dalam beberapa aspek.
Adapun ciri-ciri fisik hominid Solo meliputi:
- Memiliki volume otak yang relatif besar, berkisar antara 1000 hingga 1200 cc.
- Otak kecilnya lebih besar daripada manusia Pithecanthropus erectus.
- Ukuran tengkorak kepala lebih besar dibandingkan dengan Pithecanthropus erectus.
- Bagian belakang tengkoraknya sudah membulat dan tinggi.
- Kerangka tengkorak memiliki bentuk lonjong, tebal, dan kokoh.
- Bentuk muka tidak menonjol ke depan.
- Tonjolan yang ada di kening tebal serta melintang sepanjang pelipis.
- Mempunyai wajah dan hidung lebar, rongga mata panjang, gigi geraham besar, serta rahang yang kuat.
- Rentang tinggi badannya adalah antara 130 hingga 210 cm.
- Otot pada bagian tengkuknya mengalami penyusutan.
- Tubuh tegap dengan tinggi badan mulai dari 165 hingga 180 cm.
- Berat badannya berkisar antara 30 hingga 150 kg.
- Kemampuan berdiri tegak dan berjalan cenderung lebih sempurna.
- Bentuk fisiknya menyerupai manusia saat ini.
2. Ciri-Ciri Kebudayaan
Selain memiliki karakteristik secara fisik, hominid Solo juga memiliki ciri-ciri nonfisik, yang mencakup aspek kebudayaan yang berkembang pada zaman tersebut.
Berdasarkan penemuan fosil dan artefak, corak kehidupan homo soloensis meliputi:
Aktivitas Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Subspesiesasal Solo ini termasuk kelompok manusia purba yang hidup di hutan terbuka secara nomaden, berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti pergerakan sumber makanan.
Mereka mengandalkan berburu hewan dan mengumpulkan bahan makanan dari lingkungan sekitarnya sebagai cara utama untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan bertahan hidup.
Mengenal Bahasa untuk Komunikasi
Dikarenakan memiliki volume otak yang cukup besar, hominid Solo mulai mengenal dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa.
Meskipun bukti langsung mengenai bahasa mereka terbatas, namun penemuan berbagai jenis alat batu menunjukkan adanya sistem komunikasi yang canggih, digunakan untuk mengkoordinasikan kegiatan berburu dan aktivitas kelompok.
Pemanfaatan Api
Homo soloensis diduga sebagai manusia purba pertama yang menggunakan api untuk memasak. Sebagian besar dari mereka tinggal di hutan terbuka, sehingga membutuhkan api untuk berbagai hal.
Salah satunya adalah memasak makanan untuk asupan sehari-hari. Selain itu, mereka juga menggunakan api sebagai penerangan untuk melindungi diri dari ancaman hewan buas di malam hari.
Menciptakan Alat Penunjang Hidup
Selain itu, jenis manusia purba asal Solo ini juga telah memiliki kemampuan untuk menciptakan alat-alat penunjang hidup sederhana yang terbuat dari bahan tulang dan batu.
Beberapa alat yang telah ditemukan meliputi perkakas dari tulang, alat serpih, kapak genggam, dan kapak perimbas. Alat-alat tersebut memiliki beragam fungsi, digunakan untuk berburu, mengolah makanan, dan mempermudah kehidupan sehari-hari.
3. Ciri-Ciri Kepercayaan
Manusia purba tidak hanya mengalami perkembangan dalam aspek kebudayaan, tetapi juga dalam seni dan rohaniah. Beberapa ahli percaya bahwa pada masa Homo soloensis, mereka telah menyadari kehadiran Tuhan dalam kehidupan mereka.
Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai fenomena alam yang terjadi pada masa itu, yang sulit dijelaskan dengan ilmu dan teknologi yang mereka miliki saat itu.
Dukungan untuk konsep monoteisme primitif juga ditemukan dalam buku “The Origin of the Idea of Good” karya Wilhelm Schmidt.
Pada awalnya, manusia-manusia pertama di Afrika meyakini adanya Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Melihat segalanya. Tuhan ini tidak diwakili oleh kasta agamawan atau perantara antara manusia dan Tuhan, sehingga setiap orang berdoa langsung dengan bentuk doa yang berbeda-beda.
Namun, seiring berjalannya waktu, kepercayaan tersebut mengalami pergeseran dan digantikan oleh kepercayaan pada banyak Tuhan pagan yang melambangkan kekuatan alam dan roh-roh nenek moyang dalam bentuk animisme dan dinamisme.
Faktor Kepunahan Homo Soloensis
Punahnya manusia purba di bumi merupakan misteri yang belum dapat dipastikan secara pasti. Meskipun demikian, terdapat beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa populasi mereka telah lenyap sejak zaman Pleistosen.
Beberapa faktor yang kemungkinan mempengaruhi kepunahan mereka adalah:
1. Perubahan Lingkungan
Perubahan lingkungan merupakan faktor utama yang diduga mempengaruhi kelangsungan hidup manusia purba. Pada masa tersebut, bumi mengalami variasi iklim yang cukup signifikan.
Letusan gunung berapi, gempa bumi, dan perubahan iklim secara drastis dapat menyebabkan penurunan populasi dan kesulitan dalam mencari sumber daya alam yang untuk bertahan hidup.
Selain itu, terdapat teori lain yang memaparkan adanya badai meteor yang pernah menghantam bumi pada 12.000 tahun silam. Peristiwa alam ini diduga menyebabkan kepunahan manusia purba.
Para peneliti percaya bahwa dampak meteor tersebut menyebabkan perubahan suhu drastis, mencapai 2.200 derajat Celcius. Akibatnya, makhluk hidup pada masa itu menghadapi kesulitan dalam bertahan hidup.
2. Penyebaran Penyakit
Selain itu, dugaan penyebaran penyakit juga dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kepunahan Homo erectus soloensis dan keturunannya, seperti yang terjadi pada Neanderthal.
Riset menunjukkan bahwa Neanderthal memiliki sistem kekebalan tubuh yang terbatas terhadap penyakit yang belum mereka alami sebelumnya. Sebaliknya, manusia modern, Homo sapiens, relatif lebih kebal terhadap virus, bakteri, kuman, atau penyakit zaman prasejarah.
Jika dua spesies manusia tinggal berdekatan, patogen tertentu dapat dengan relatif mudah melompat dari satu spesies ke spesies lainnya.
Akibatnya, penularan penyakit menjadi sangat mungkin terjadi dan dapat berakibat fatal bagi manusia Neanderthal. Hal serupa juga berpotensi terjadi pada Homo erectus soloensis.
3. Ketidakmampuan Bersaing
Perkembangan manusia modern yang lebih maju atau kelompok manusia lain yang lebih adaptif dan efisien dalam mencari makanan dan bertahan hidup dapat menyebabkan Homo Soloensis menjadi kalah bersaing.
Jika kelompok ini tidak dapat menemukan cara untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan atau bersaing dengan kelompok lain, maka kelangsungan hidup mereka menjadi terancam.
4. Kurangnya Kemampuan Sosial
Beberapa teori mengemukakan bahwa kepunahan manusia purba terjadi karena kurangnya kemampuan sosial.
Penelitian yang mendalam ini khususnya meneliti spesies manusia purba Neanderthal, yang hidup sekitar 300.000 tahun lalu di wilayah Asia Tengah, Eropa, dan Timur Tengah.
Ahli dari Universitas Oxford dan Museum Natural History di London melakukan perbandingan antara tengkorak manusia modern dengan tengkorak Neanderthal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian otak Neanderthal yang terkait dengan hubungan sosial lebih kecil dibandingkan dengan primata dan manusia modern.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa keterbatasan ini menjadi hambatan bagi kemampuan Neanderthal dalam berdagang dan berinteraksi dengan kelompok lain. Akibatnya, peluang mereka untuk bertahan hidup menjadi berkurang.
5. Dimangsa Predator
Di masa lalu, hominid Solo mungkin berbagi lingkungan dengan predator besar seperti hewan buas atau karnivora lainnya.
Jika kelompok manusia ini tidak memiliki pertahanan yang cukup efektif terhadap predator, mereka dapat menjadi target dan dimangsa secara aktif, menyebabkan penurunan jumlah populasi.
Meskipun begitu, sulitnya mencari jawaban pasti tentang punahnya subspesiesasal Solo disebabkan oleh minimnya informasi dan bukti arkeologis yang memadai.
Namun, melalui pemahaman sejarah penemuan fosil Homo soloensis, kita dapat memperoleh wawasan penting mengenai asal-usul dan perkembangan manusia di wilayah Nusantara.
Baca Juga: